“Serius banget nih kayaknya” suara Rio -kakak ipar gue- menyambar gendang telinga gue.
“Dia mau jadi komposer katanya” Reva menyambar sebelum gue sempet bereaksi.
Gue menimpuk Reva dengan bantal yang kebetulan nganggur disamping gue “resek lu!”
Reva dan Rio cuma ketawa melihat reaksi gue.
“Iya, adek lu kesambet apaan dah tau, jadi suka genjreng-genjreng gak jelas” Mama ikut komentar.
“Ma, anak Mama ini lagi melatih kecerdasan emosional” terang gue seraya menujuk diri sendiri. “harusnya Mama tuh kasih dukungan”
“Eeeh, siapa bilang Mama gak dukung kamu? Ini udah Mama siapin dukungan” Mama membantah seraya menunjukkan sepiring penuh kudapan yang terlihat mengggiurkan.
“Mama emang paling ngerti aku deh,” gue langsung menyambar piring tersebut dengan ganas.
Yeah, seenggaknya walaupun gue itu single menahun gue masih punya kebahagian lain. Keluarga gue.
*****
Selain mengasah kecerdasan emosional gue lewat musik – yang gue tunjukkan dengan rajin berlatih main gitar secara otodidak dan karaoke di kamar mandi- gue juga rajin mengikuti diskusi serta seminar. Mulai dari seminar yang dibiayai oleh kantor, seminar gratisan yang diadakan oleh radio-radio bahkan seminar yang harus merogoh kocek –walau gak cukup dalam- ini menunjukan betapa besar itikad gue dalam berusaha menjadi smart.
Seperti hari ini, gue sedang mengikuti seminar tentang kanker serviks. Seminar ini gratis, diadakan oleh pemerintah kota, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran para warga akan betapa bahayanya kanker serviks, pencegahan kanker serviks, serta pengobatannya.
Peserta seminar semuanya ibu-ibu – yeah tentu saja gue gak berharap menemukan makhluk adam di seminar macam gini – kecuali dokter pengisi seminar yang ternyata laki-laki. Dan cukup tampan – meski begitu gue gak berharap bakal tes papsmir sama dia- hahaha.
Gue keluar ruang seminar dengan pengetahuan yang lebih. Gue meyakinkan diri dalam hati bahwa sekarang gue bertambah smart, hehehe. Dan tanpa sengaja ekor mata gue menangkap sosok yang beberapa pekan ini gue pikirkan- cowok Mahakarya- tak mau membuang kesempatan gue langsung memfokuskan pandangan gue, ibarat mikroskop mungkin mata gue sudah mengalami perbesaran sebanyak 40x dengan kekuatan lensa 10 Dioptri.
Dan betapa kecewanya gue saat melihat dia menggandeng seorang Tante dengan mesranya. Phew ternyata dia pecinta tante-tante. Okay, memang gak ada yang sempurna didunia ini. Tapi tetap saja itu gak adil, ini ada gue masih gadis, single, berdarah suci dan dia lebih milih tante- tante???
3rd Step : Workaholic jangan, perluas jaringan kudu!
Menurut majalah yang gue baca menyatakan bahwa kemungkinan lain yang menjadi penyebab ke-single-an gue adalah gue terlalu workaholic!
“Ra, lu kalau kerja jangan kayak orang kesetanan gitu dong” Lelly – salah satu sohib gue yang sekantor sama gue – seringkali mengucapkan kalimat tersebut.
*****
“Cil,,,,”
“Kenapa, Mak?”
“Gue harus ngapain yah?”
“Maksutnya?” tentu aja Cecilia – alias Cila- bingung, mendengar pertanyaan gue yang gak jelas juntrungannya.
“Menurut lu gue workaholic gak?”
“Kenapa? Lu dikatain ama Lelly lagi? Dia tuh ngomong gitu niatnya baek, dia cuma gak mau lu terlalu stress, menurut gue juga gitu. Daripada lu ngebebanin diri ama kerjaan mending lu cari kegiatan-kegiatan baru yang nyegerin deh” dan Cila langsung memuntahkan segala wejangannya.
“Kegiatan baru kayak gimana?”
“ Yah, lu coba ikut-ikut komunitas gitu deh. Lumayan kan nambah kenalan. Itu juga salah satu usaha, kali aja lu mendadak ketemu jodoh. Ya gak?”
Misi gue
tentang hengkang dari status single
secepatnya emang bukan rahasia lagi. Dan gue bersyukur ketiga teman dekat gue
dan seluruh keluarga gue sangat mendukung misi gue itu.
“Hmmm, bener juga sih,,” gue mencoba menerima argumen Cila “ tapi gue bingung ikut komunitas apaan”
“Yah itu aja pake bingung. Nih ya, ada komunitas pencinta reptil, komunitas penggila buku, penikmat film, penyuka sejarah, aduh banyak banget deh. Lu tinggal pilih sesuai hobi lu aja”
“Hobi gue baca buku, gue juga suka sejarah, gue suka nonton film,,,”
“Yaudah lu coba datengin aja satu-satu,nih gue kasih alamat komunitas yang gue tahu deh,” Cila langsung menulis pada secarik kertas.
*****
Setelah sempat berdebat tentang komunitas apa saja yang seharusnya gue ikuti – dalam pandangan Cila- maka ini adalah daftar pertama. Komunitas Pecinta Buku. Gue sempat ngotot untuk ikut di komunitas pecinta reptil – you know lah alasan utama gue tentu aja karena biasanya yang suka reptil itu kaum adam dan itu artinya kesempatan dapet pacar lebih besar – tapi Cila lebih ngotot lagi dan akhirnya gue kalah.
Walaupun gue sangat suka baca buku, gue sama sekali gak berpikir buat ikut komunitas-komunitas. Tapi, demi misi maha penting gue -yang deadlinenya semakin mepet saja- gue rela untuk melepaskan zona nyaman gue dan berjibaku dengan orang-orang baru.
Setelah malam sebelumnya gue menghubungi contact person -atau admin dalam bahasa mereka- maka disinilah gue sekarang. Gue lagi di depan cafe yang juga terlihat seperti toko buku. Dengan sedikit ragu, gue menarik gagang pintu, dan suara gemerincing nyaring dari lonceng diatas pintu segera berderai. Membuat bebrapa penghuni didalamnya menoleh.
Ugh! Gua gak terlalu suka jadi pusat perhatian gini. Segala sumpah serapah gue lontarkan kepada sang pintu – tentu saja hanya dalam hati dan pikiran gue-yang tak berdosa.
“Hai, Mbak Mira ya?” dan seorang cowok yang lumayan cute menyambut gue dengan senyum hangatnya.
“Oh iya” gue mencoba tersenyum dan terlihat santai.
“Aku Anton, orang yang semalem Mba hubungi”
“Oh, hai, Anton” gue sekarang punya teori bahwa suara berbanding lurus dengan rupa, jadi pemilik suara yang enak didenger pastilah juga memiliki wajah enak dilihat.
“Ayok, Mba masuk kedalam aku kenalin sama anak-anak yang lain”
Wait a second! He just said „AKU?‟ Hohoho rasanya aneh aja sih mendengar seorang cowok memanggil dirinya sendiri dengan „aku‟, yeah lain cerita kalau kita pacaran.
Dan begitulah proses perkenalan gue sebagai anak baru. Ternyata komunitas pecinta buku ini asyik juga. Awalnya gue pikir bakal ketemu orang kolot, kuno, konservatif dengan penampilan culun. Praduga gue salah besar.
“Tadi akses kesini susah nggak?” tanpa gue sadari Anton sudah duduk dihadapan gue.
“Gak juga kok, apalagi banyak penunjuk jalan yang dibikin sepanjang gang tadi”
Tentu saja pertanyaan Anton sangat lumrah, mengingat bahwa ini adalah cafe paling tidak strategis yang gue datangi. Bayangin aja, cafe kok masuk kedalam gang – yang buat mencapainya aja lu harus jalan sekitar 20 menit dari jalan besar-dikawasan padat penduduk.
“Hahaha, iya itu soalnya banyak banget anak yang baru dateng macam kamu gitu suka nyasar “
“Loh, emangnya warga sekitar gak pada tahu gitu?”
“Yeah gitu deh, maklum aja kita juga baru kan?”
Gue manggut-manggut bingung harus menanggapi apa lagi.
“Kamu pulang naik apa?”
“Yeah paling pesen ojek”
“Kalau kamu mau ntar bareng aku aja, tapi nunggu sampe nih cafe tutup hehehe”
“Ya ampuuun gak usah repot-repot gitu deh”
“Anggap aja sambutan spesial buat member baru”
“Ini gue udah dapet kopi gratis aja, udah merasa tersambut banget loh”
“ Ya justru itu, biar sambutannya makin spesial aku ojekin ampe rumah juga deh, biar kamu gak kapok dateng kesini lagi”
Ini gue aja yang kegeeran atau dia emang berusaha banget deketin gue?
“Gimana?”
Gua ampe lupa ada yang lagi nunggu jawaban, “ Uh oh, ya kalo gak ngerepotin sih”
“good girl” ucap Anton seraya mengacak rambut gue.” Okay, gue lanjutin kerja dulu ya,”
Sumpah. Itu tadi apa maksutnya?? Gue baper. Asli gue baper! Gue mencoba mengingatkan diri gue bahwa kita baru saja kenal- bahkan belum 24 jam- dan merasa baper seperti itu tidaklah wajar.
Gue meraba pipi gue yang terasa panas. Dan kok yah tanpa gue perintah ini bibir senyum sendiri. Untunglah Anton sudah beranjak dari hadapan gue. Aduh ini memalukan! Gue berusaha sebisa mungkin untuk menghindar menatap Anton dengan sibuk melihat penampilan Metha - anak komunitas juga yang kerja dan tinggal di Cafe Book Club- yang menyanyi dengan sangat bagus.
*****
“Thanks, yah udah nganterin gue”
“No, no. It's my pleasure.”
“Mau mampir dulu?” gue berdoa dalam hati supaya Anton bilang gak.
“Hmmm, lain kali aja deh, udah malem juga soalnya”
Huft! Gue langsung menarik napas lega.
“Yaudah masuk gih” Anton menyuruh gue masuk dengan isyarat kepalanya.
Setelah pamit basa-basi gue membuka pintu pagar.
“Ra,”
Pintu pagar baru terbuka setengahnya saat gue mendengar Anton memanggil nama gue – sekarang bahkan dia sudah ga pake embel-embel ‟Mba‟ lagi - membuat gue otomatis mambalikan tubuh dan kembali menghadap dia. Gue menatap dia bingung.
“Hahaha, gak kok cuma mau bilang jangan kapok dateng ke Cafe Book Club yah”
“Ya ampuun kirain mau bilang apa. Gimana gue bisa kapok, kalo sambutannya aja spesial gini, hehehe” gue mencoba bercanda.
“Okay, see you next time”
*****
EmoticonEmoticon