Metamerfosa
‘Si Aku’ yang (Masih) Hemimetabola
Fase
Telur
Pada suatu hari dan suatu waktu, Si Aku dan ratusan
juta rival seperjuangannya bergerak menuju tuba falopii untuk menemui sel
telur. Si Aku tengok kanan–kiri, takut kalah cepat dibanding sperma lain. ‘Tidak
bisa.’ ‘Harus aku.’ Si Aku bergerak dengan kecepatan 45 km/jam atau setara dengan
12,5 m/s. Memang masih kalah cepat dibanding kecepatan Michele Pirro atau kecepatan
Buroq.
Okee, sekarang Si Aku telah berhasil melawan gaya
gravitasi dan sampai di tuba falopii. Si Aku berusaha menajamkan penglihatan
mencari sel telur. Ahaa. Itu dia. Si Aku semakin berusaha mempercepat
pergerakan. Dan, Si Aku berhasil menempelkan akrosomnya pada sel telur. Dengan
ajaib sel telur langsung memasang perisai tak kasat mata, membuat sperma lain
jatuh berguguran. Setelah melebur dengan sel telur, Si Aku berkembang melewati
fase morulla, blastula dan gastrula di bagian endometrium. Pada fase gastrula
inilah roh kehidupan sesungguhnya mulai Si Aku jalani. Tuhan memberikannya
kontrak hidup tak tertulis mengenai bagaimana Si Aku akan menjalani kehidupan
setelah keluar dari rahim. Harusnya dibaca baik–baik, sebelum tanda tangan
kontrak. Yah tapi namanya juga ‘calon manusia’ langsung iya–iya aja. Dan
disaksikan para malaikat akhirnya perjanjian pun sah. Kontrak seumur hidup Si
Aku. Alur cerita sebuah drama kehidupan dimana Si Aku akan jadi pemeran utama,
di produseri dan di sutradarai langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Di trimester awal Si Aku mulai merasakan organ–organ
terbentuk, trimester berikutnya Si Aku merasa tulang semakin mengeras dan otot
semakin menebal. Saat kedua orangtua Si Aku melakukan USG Si Aku mencoba
memberikan senyuman lebar, memberikan sinyal kalau Si Aku bahagia, baik–baik
saja, dan ingin segera bertemu mereka. Dan akhirnya setelah bergumul di dalam kehidupan kecil di
rahim, Si Akupun lahir kedunia menjalani fase kehidupan selanjutnya.
Fase Larva.
Disini Si Aku harus belajar mengembangkan kemampuan
motoriknya. Belajar berjalan, bicara, makan dan banyak lainnya. Tanpa si Aku
sadari sel-sel autosomnya membelah diri, secara mitosis dan meiosis, membuat si
Aku bertambah besar dan tinggi.
Akhirnya si Aku masuk sekolah. Masa-masa sekolah Si
Aku ditemani dengan aksi Panji Milenium, lorong waktu, film India hingga
telenovela macam Rosalinda. Membeli sandal dengan ukiran nama. Memakai topi
dengan sablon ‘Tersayang’. Mengenakan baju dengan sayap seperti pahlawan super
Panji Milenium. Dan mungkin hal absurd yang pernah dilakukan Si Aku di fase ini
adalah menanam uang. Tentu saja ini terinspirasi dari film Ten Brothers-nya
Boboho. Si Aku berkhayal uangnya akan tumbuh menjadi pohon uang dan berbuah
banyak. Dan tentu saja hal itu tidak terjadi.
Lulus dari TK, Si Aku mulai menjalani kehidupan
berat. Karena kedua orangtuanya berbeda pandangan mengenai pendidikan, akhirnya
Si Aku harus bersekolah di dua tempat sekaligus. Pagi di SD menuntut ilmu umum
sesuai asa Ayah. Pulangnya langsung ke sekolah MI mendalami ilmu agama sesuai
pinta Bunda. Menghafalkan alfabet dan huruf hijaiyah, mempelajari bahasa
Indonesia, Jawa, Sunda dan Arab pastinya. Meski begitu Si Aku menjalaninya
dengan suka cita. Sama sekali tidak ada rasa terpaksa. Tentu saja hal ini
berkat support keluarga.
4 tahun setelah millenium dimulai, hidup Si Aku
mulai jumpalitan. Kedua orangtua Si Aku mengumumkan jika Si Aku akan menjadi
seorang Kakak, untunglah Si Aku dan Kakaknya tidak jantungan. Ditambah lagi
dengan tayangan sinetron Bulan Bintang, Bidadari hingga Bawang Merah-Bawang
Putih, membuat bully muncul
dimana-mana. Si Aku termasuk korbannya. Teman-teman si Aku selalu mengerjai Aku
dengan berbagai cara, mengolesi bangku Si Aku dengan sabun colek atau permen
karet bekas, melemparinya dengan bola-bola kertas dan penghapus, membuat
hari-hari Si Aku di sekolah serasa bala. Ditambah pula tidak ada seorangpun
yang mau menjadi temannya. Belum selesai dengan urusan sekolah, dirumah Si Aku
dihadapkan dengan berita Ayahnya masuk penjara dan kondisi Bunda yang sedang
hamil tua.
Adik si Aku akhirnya lahir juga. Dan sang Ayahpun
sudah bebas dari penjara. Namun kehidupan Si Aku tak bisa kembali seperti
semula. Ayah si Aku shock dan menjadi
down sehingga Ibu dan Kakaknya harus
menjadi tulang punggung keluarga. Sang Kakak berjualan lotere cabut di warung
Ibunya. Dan tentu saja itu sangat laris pada jamannya. Bahkan jika sudah banyak
lotere yang dicabut sementara hadiah masih banyak yang belum terpilih, Si Aku
dan Kakaknya akan menempelkan kembali kertas yang kosong. Curang memang.
Si Aku pun mulai berinisiatif. Membuat rujak ciremai
dan membuat amplop warna-warni berbahan asturo untuk dijual. Meski sudah
membantu, Si Aku masih merasa menjadi beban bagi keluarganya. Apalagi dengan
biaya sekolahnya. Sementara Kakaknya sedang membutuhkan dana untuk persiapan
masuk perguruan tinggi selepas SMA. Akhirnya Si Aku memutuskan untuk berhenti
dari sekolah MI secara diam-diam. Tapi, beberapa bulan langsung ketahuan karena
beberapa guru yang berdatangan, mencarinya.
Begitulah tahun-tahun sekolah dasar Si Aku berlalu.
Fase Pupa
Si Aku merasakan kasurnya agak basah, dan langsung
terbangun. Alangkah kaget Si Aku saat melihat darah di kasurnya. Benak si Aku
penuh tanya. Dan kepanikan melanda. Sambil menangis sesenggukan Si Aku bertanya
pada Bunda. Tapi Bunda justru tertawa. Ternyata oh ternyata, itu menstruasi
belaka. Tahapan perkembangan yang sudah selayaknya Si Aku terima, dimana
endometrium meluruh akibat dihentikannya produksi hormon progesteron. O-o.
Tidak terasa sudah sebulan Si Aku berganti dengan
seragam putih-biru. Tidak ada lagi bully
disini. Karena tidak ada satupun teman sekolahnya yang dulu bisa masuk ke
sekolah ini. Satu-satunya sekolah RSBI di kampung Si Aku. Dan sekolah favorit
tentu saja. Awal masuk Aku berpikir bahwa isi sekolah ini adalah anak–anak
orang berada yang berlagak. Dan mustahil rasanya bisa berteman dengan mereka,
apalagi Aku hanya berasal dari SD desa yang paling desa. Tapi ternyata
pandangan itu salah. Aku memiliki teman dengan mudahnya. Mereka memang anak
orang berada, tapi mereka tidak berlagak.
Sadar diri dengan biaya sekolahnya yang luar biasa
muahal, Si Aku berusaha mencari uang. Tidak sulit. Tentu saja. 90% penghuni
sekolahnya adalah kaum dari kasta Brahmana. Si Aku memanfaatkan peluang yang
Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya. Mulai dengan menawarkan jastip untuk
sekedar jajan di kantin, memasarkan jajanan dari warung Bunda, mengumpulkan
botol bekas atau apapun di lingkungan sekolah yang masih ada nilai jualnya,
buka lapak setiap ada acara bazaar atau pensi disekolahnya, hingga menjadi
tutor sebaya.
Saat Si Aku berada di fase ini, film India dan
telenovela sudah mulai hilang gaungnya. Digantikan dengan munculnya berbagai
band Indonesia, Jonas Brothers, serial Hannah Montana, Harry Potter, teenlit popular Indonesia seperti
Dealova-nya Dyan Nuranindya.
Di fase ini pula kelenjar pituitari pada hipotalamus
Si Aku mulai memproduksi hormon dopamin, norepinefrin, serotonin, dan oksitosin dan sejenisnya yang dikenal dengan
‘hormon cinta’. Menjadikan Wu Chun dan Jo Ji Hoon sebagai cinta pertama. Tapi
cinta pertama dalam kehidupan nyata adalah temannya.
Si Aku merasakan suka bahkan hanya dengan mendengar
suaranya, atau melihatnya dari kejauhan. Saat teman-teman sibuk memproklamirkan
perasaan mereka melalui siaran radio malam, Si Aku cukup menjadi pendengar.
Bukan apa-apa. Menjadi secret admirer
lebih baik bagi Si Aku. Si Aku bukanlah sosok Cinderella. Hanya bagian dari
kaum sudra. Dimana tiap pertemuan orangtua siswa, hanya Ayahnya yang datang
dengan angkot, memakai baju batik satu-satunya. Tentu saja Si Aku tak ada cukup
nyali untuk menyatakan rasa kepada temannya dimana orangtuanya selalu tampil
perlente dan mengendarai mobil mewah. Si Aku merasa terlalu hina.
Untuk mengalihkan perhatian, Si Aku sibuk menghafal
pasal-pasal UUD terkait dengan HAM, Ius soli, Ius Sanguinis dan kawan-kawannya.
Kewarganegaraan. Pelajaran yang paling diminatinya. Dimana itu membantu Si Aku
menemukan cita-cita barunya, menjadi seorang Duta Besar. Mimpi yang sangat
besar memang.
Tanpa prediksi, tiba-tiba saja Ayah jatuh sakit dan
harus di operasi. Kakak yang baru wisuda dan sibuk mencari kerja kembali pulang
ke rumah. Kakak yang belum bekerja. Biaya operasi yang tak terhingga. Biaya
masuk SMA. Si Aku sakit kepala bahkan hanya untuk memikirkannya. Tabungannya
selama tiga tahun di masa SMP bahkan tak ada apa-apanya. Akhirnya Si Aku
memutuskan untuk melepaskan SMA RSBI dan mencari sekolah dengan biaya paling
murah di kotanya. Ada. Meski kurang segala fasilitasnya.
Fase Nimfa.
Putih-merah dan putih biru akhirnya berlalu. Kini Si
Aku menjalani masa putih abu-abu. Ini adalah era dimana K-POP mulai membahana.
Si Aku bersyukur di sekolahnya kini bisa hidup
dengan teman yang satu kasta. Apakah ada kasta Brahmana? Tentu. Dan mereka
sangat berlagak tapi otak tidak ada isinya. Si Aku mencoba berubah (seperti power ranger). Jika dulu julukannya
adalah Si Kutu Buku sekarang julukannya adalah Si Ratu Ekskul. Alasannya?
Karena Si Aku hampir ada di setiap ekskul. Pramuka, English Club, Science Club,
Rohis hingga OSIS. Tentu saja Si Aku melakukan itu bukan karena ingin menjadi
terkenal. Tapi itu sebagai bentuk balas jasanya karena sekolah membantunya
mendapatkan beasiswa penuh. Membuat Si Aku tak perlu repot mencari uang.
Tapi, demi melihat Bunda yang banting tulang mencari
uang akhirnya Si Aku memutuskan untuk berjualan nasi bungkus. Tahun pertama di
SMA Si Aku lalui tanpa rintangan dan hambatan berarti. Hingga tahun kedua, saat
penjurusan, saat itulah Si Aku merasakan kegagalan sejati. Tropi kejuaran
selama setahun terakhir harus rela Si Aku berikan karena tidak mampu mempertahankannya.
Si Aku menjadi topik hangat di sekolah ‘Kejatuhan Si Anak Emas’. Sedih dan
frustasi itu pasti. Tapi bangkit lebih memiliki urgensi.
Si Aku semakin gila belajar, mencoba meraih kembali
apa yang hilang. Tapi sepertinya percuma. Dia hanya berhasil di posisi kedua.
Dan Si Aku tahu pasti penyebabnya. Dia di jurusan yang salah. IPA. Si Aku
bahkan tak pernah menyukai matematika, kimia apalagi fisika. Belajar hanya
untuk menunaikan kewajiban semata.
Dan salah jurusan itu terus berlanjut bahkan hingga
kuliah dan berstatus sebagai mahasiswa. Memang itu bukan pilihannya. Dan bukan tugas mahasiswa pula untuk
mengeluhkan keadaan.
Keadaan ekonomi keluarga tetap carut marut. Orangtua
yang semakin tua. Membuat Kakak harus bertindak sebagai pencari nafkah utama.
Membiayai kuliah Si Aku dan Adik. Si Aku tentu tak lepas tangan begitu saja.
Mengirimkan lamaran melalui berbagai portal kerja. Mengajar les privat setiap
hari. Mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa yang diadakan Kemenristekdikti. Kuliah-cari
duit. Begitulah kehidupan mahasiswanya. Sama sekali tidak ada romansa. Siapa
juga yang akan melirik Si Aku, gadis rantau dari desa? Cantik pun tidak. Cukup
norak mungkin iya.
Si Aku tetap menjalani kehidupan monoton yang
itu-itu saja. Dan tanpa terasa berhasil wisuda tepat pada waktunya dan meraih
gelar sarjana.
Fase Imago.
Sarjana. Bukan dari Universitas ternama. Mencari
kerja. Sulit. Itu kata-kata yang sering terpikirkan Si Aku. Perusahaan besar
hanya memiliki minat pada lulusan dari kampus ternama, atau seseorang dengan
banyak pengalaman kerja. Si Aku tidak termasuk dalam keduanya.
Menjadi pengangguran selama hampir setengah tahun.
Melamar pekerjaan ke ratusan perusahaan baik besar maupun kecil. Lamar
langsung. Lewat portal job. Walk-in
interview. Tetap tak ada panggilan.
Menunggu, menunggu dan sabar menunggu. Itulah yang
dilakukan Si Aku. Berharap metamorfosanya akan secantik kupu-kupu.
To Be Continued...
EmoticonEmoticon