Kamis, 25 Juni 2020

Metamerfosa ‘Si Aku’ yang (Masih) Hemimetabola

Metamerfosa ‘Si Aku’ yang (Masih) Hemimetabola

Fase Telur

Pada suatu hari dan suatu waktu, Si Aku dan ratusan juta rival seperjuangannya bergerak menuju tuba falopii untuk menemui sel telur. Si Aku tengok kanan–kiri, takut kalah cepat dibanding sperma lain. ‘Tidak bisa.’ ‘Harus aku.’ Si Aku bergerak dengan kecepatan 45 km/jam atau setara dengan 12,5 m/s. Memang masih kalah cepat dibanding kecepatan Michele Pirro atau kecepatan Buroq.

Okee, sekarang Si Aku telah berhasil melawan gaya gravitasi dan sampai di tuba falopii. Si Aku berusaha menajamkan penglihatan mencari sel telur. Ahaa. Itu dia. Si Aku semakin berusaha mempercepat pergerakan. Dan, Si Aku berhasil menempelkan akrosomnya pada sel telur. Dengan ajaib sel telur langsung memasang perisai tak kasat mata, membuat sperma lain jatuh berguguran. Setelah melebur dengan sel telur, Si Aku berkembang melewati fase morulla, blastula dan gastrula di bagian endometrium. Pada fase gastrula inilah roh kehidupan sesungguhnya mulai Si Aku jalani. Tuhan memberikannya kontrak hidup tak tertulis mengenai bagaimana Si Aku akan menjalani kehidupan setelah keluar dari rahim. Harusnya dibaca baik–baik, sebelum tanda tangan kontrak. Yah tapi namanya juga ‘calon manusia’ langsung iya–iya aja. Dan disaksikan para malaikat akhirnya perjanjian pun sah. Kontrak seumur hidup Si Aku. Alur cerita sebuah drama kehidupan dimana Si Aku akan jadi pemeran utama, di produseri dan di sutradarai langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Di trimester awal Si Aku mulai merasakan organ–organ terbentuk, trimester berikutnya Si Aku merasa tulang semakin mengeras dan otot semakin menebal. Saat kedua orangtua Si Aku melakukan USG Si Aku mencoba memberikan senyuman lebar, memberikan sinyal kalau Si Aku bahagia, baik–baik saja, dan ingin segera bertemu mereka. Dan akhirnya  setelah bergumul di dalam kehidupan kecil di rahim, Si Akupun lahir kedunia menjalani fase kehidupan selanjutnya.

Fase Larva.

Disini Si Aku harus belajar mengembangkan kemampuan motoriknya. Belajar berjalan, bicara, makan dan banyak lainnya. Tanpa si Aku sadari sel-sel autosomnya membelah diri, secara mitosis dan meiosis, membuat si Aku bertambah besar dan tinggi.

Akhirnya si Aku masuk sekolah. Masa-masa sekolah Si Aku ditemani dengan aksi Panji Milenium, lorong waktu, film India hingga telenovela macam Rosalinda. Membeli sandal dengan ukiran nama. Memakai topi dengan sablon ‘Tersayang’. Mengenakan baju dengan sayap seperti pahlawan super Panji Milenium. Dan mungkin hal absurd yang pernah dilakukan Si Aku di fase ini adalah menanam uang. Tentu saja ini terinspirasi dari film Ten Brothers-nya Boboho. Si Aku berkhayal uangnya akan tumbuh menjadi pohon uang dan berbuah banyak. Dan tentu saja hal itu tidak terjadi. 

Lulus dari TK, Si Aku mulai menjalani kehidupan berat. Karena kedua orangtuanya berbeda pandangan mengenai pendidikan, akhirnya Si Aku harus bersekolah di dua tempat sekaligus. Pagi di SD menuntut ilmu umum sesuai asa Ayah. Pulangnya langsung ke sekolah MI mendalami ilmu agama sesuai pinta Bunda. Menghafalkan alfabet dan huruf hijaiyah, mempelajari bahasa Indonesia, Jawa, Sunda dan Arab pastinya. Meski begitu Si Aku menjalaninya dengan suka cita. Sama sekali tidak ada rasa terpaksa. Tentu saja hal ini berkat support keluarga.

4 tahun setelah millenium dimulai, hidup Si Aku mulai jumpalitan. Kedua orangtua Si Aku mengumumkan jika Si Aku akan menjadi seorang Kakak, untunglah Si Aku dan Kakaknya tidak jantungan. Ditambah lagi dengan tayangan sinetron Bulan Bintang, Bidadari hingga Bawang Merah-Bawang Putih, membuat bully muncul dimana-mana. Si Aku termasuk korbannya. Teman-teman si Aku selalu mengerjai Aku dengan berbagai cara, mengolesi bangku Si Aku dengan sabun colek atau permen karet bekas, melemparinya dengan bola-bola kertas dan penghapus, membuat hari-hari Si Aku di sekolah serasa bala. Ditambah pula tidak ada seorangpun yang mau menjadi temannya. Belum selesai dengan urusan sekolah, dirumah Si Aku dihadapkan dengan berita Ayahnya masuk penjara dan kondisi Bunda yang sedang hamil tua.

Adik si Aku akhirnya lahir juga. Dan sang Ayahpun sudah bebas dari penjara. Namun kehidupan Si Aku tak bisa kembali seperti semula. Ayah si Aku shock dan menjadi down sehingga Ibu dan Kakaknya harus menjadi tulang punggung keluarga. Sang Kakak berjualan lotere cabut di warung Ibunya. Dan tentu saja itu sangat laris pada jamannya. Bahkan jika sudah banyak lotere yang dicabut sementara hadiah masih banyak yang belum terpilih, Si Aku dan Kakaknya akan menempelkan kembali kertas yang kosong. Curang memang.

Si Aku pun mulai berinisiatif. Membuat rujak ciremai dan membuat amplop warna-warni berbahan asturo untuk dijual. Meski sudah membantu, Si Aku masih merasa menjadi beban bagi keluarganya. Apalagi dengan biaya sekolahnya. Sementara Kakaknya sedang membutuhkan dana untuk persiapan masuk perguruan tinggi selepas SMA. Akhirnya Si Aku memutuskan untuk berhenti dari sekolah MI secara diam-diam. Tapi, beberapa bulan langsung ketahuan karena beberapa guru yang berdatangan, mencarinya.

Begitulah tahun-tahun sekolah dasar Si Aku berlalu.

Fase Pupa

Si Aku merasakan kasurnya agak basah, dan langsung terbangun. Alangkah kaget Si Aku saat melihat darah di kasurnya. Benak si Aku penuh tanya. Dan kepanikan melanda. Sambil menangis sesenggukan Si Aku bertanya pada Bunda. Tapi Bunda justru tertawa. Ternyata oh ternyata, itu menstruasi belaka. Tahapan perkembangan yang sudah selayaknya Si Aku terima, dimana endometrium meluruh akibat dihentikannya produksi hormon progesteron. O-o.

Tidak terasa sudah sebulan Si Aku berganti dengan seragam putih-biru. Tidak ada lagi bully disini. Karena tidak ada satupun teman sekolahnya yang dulu bisa masuk ke sekolah ini. Satu-satunya sekolah RSBI di kampung Si Aku. Dan sekolah favorit tentu saja. Awal masuk Aku berpikir bahwa isi sekolah ini adalah anak–anak orang berada yang berlagak. Dan mustahil rasanya bisa berteman dengan mereka, apalagi Aku hanya berasal dari SD desa yang paling desa. Tapi ternyata pandangan itu salah. Aku memiliki teman dengan mudahnya. Mereka memang anak orang berada, tapi mereka tidak berlagak.

Sadar diri dengan biaya sekolahnya yang luar biasa muahal, Si Aku berusaha mencari uang. Tidak sulit. Tentu saja. 90% penghuni sekolahnya adalah kaum dari kasta Brahmana. Si Aku memanfaatkan peluang yang Tuhan berikan dengan sebaik-baiknya. Mulai dengan menawarkan jastip untuk sekedar jajan di kantin, memasarkan jajanan dari warung Bunda, mengumpulkan botol bekas atau apapun di lingkungan sekolah yang masih ada nilai jualnya, buka lapak setiap ada acara bazaar atau pensi disekolahnya, hingga menjadi tutor sebaya.

Saat Si Aku berada di fase ini, film India dan telenovela sudah mulai hilang gaungnya. Digantikan dengan munculnya berbagai band Indonesia, Jonas Brothers, serial Hannah Montana, Harry Potter, teenlit popular Indonesia seperti Dealova-nya Dyan Nuranindya.

Di fase ini pula kelenjar pituitari pada hipotalamus Si Aku mulai memproduksi hormon dopamin, norepinefrin, serotonin, dan  oksitosin dan sejenisnya yang dikenal dengan ‘hormon cinta’. Menjadikan Wu Chun dan Jo Ji Hoon sebagai cinta pertama. Tapi cinta pertama dalam kehidupan nyata adalah temannya.

Si Aku merasakan suka bahkan hanya dengan mendengar suaranya, atau melihatnya dari kejauhan. Saat teman-teman sibuk memproklamirkan perasaan mereka melalui siaran radio malam, Si Aku cukup menjadi pendengar. Bukan apa-apa. Menjadi secret admirer lebih baik bagi Si Aku. Si Aku bukanlah sosok Cinderella. Hanya bagian dari kaum sudra. Dimana tiap pertemuan orangtua siswa, hanya Ayahnya yang datang dengan angkot, memakai baju batik satu-satunya. Tentu saja Si Aku tak ada cukup nyali untuk menyatakan rasa kepada temannya dimana orangtuanya selalu tampil perlente dan mengendarai mobil mewah. Si Aku merasa terlalu hina.

Untuk mengalihkan perhatian, Si Aku sibuk menghafal pasal-pasal UUD terkait dengan HAM, Ius soli, Ius Sanguinis dan kawan-kawannya. Kewarganegaraan. Pelajaran yang paling diminatinya. Dimana itu membantu Si Aku menemukan cita-cita barunya, menjadi seorang Duta Besar. Mimpi yang sangat besar memang.

Tanpa prediksi, tiba-tiba saja Ayah jatuh sakit dan harus di operasi. Kakak yang baru wisuda dan sibuk mencari kerja kembali pulang ke rumah. Kakak yang belum bekerja. Biaya operasi yang tak terhingga. Biaya masuk SMA. Si Aku sakit kepala bahkan hanya untuk memikirkannya. Tabungannya selama tiga tahun di masa SMP bahkan tak ada apa-apanya. Akhirnya Si Aku memutuskan untuk melepaskan SMA RSBI dan mencari sekolah dengan biaya paling murah di kotanya. Ada. Meski kurang segala fasilitasnya.

Fase Nimfa.

Putih-merah dan putih biru akhirnya berlalu. Kini Si Aku menjalani masa putih abu-abu. Ini adalah era dimana  K-POP mulai membahana.

Si Aku bersyukur di sekolahnya kini bisa hidup dengan teman yang satu kasta. Apakah ada kasta Brahmana? Tentu. Dan mereka sangat berlagak tapi otak tidak ada isinya. Si Aku mencoba berubah (seperti power ranger). Jika dulu julukannya adalah Si Kutu Buku sekarang julukannya adalah Si Ratu Ekskul. Alasannya? Karena Si Aku hampir ada di setiap ekskul. Pramuka, English Club, Science Club, Rohis hingga OSIS. Tentu saja Si Aku melakukan itu bukan karena ingin menjadi terkenal. Tapi itu sebagai bentuk balas jasanya karena sekolah membantunya mendapatkan beasiswa penuh. Membuat Si Aku tak perlu repot mencari uang.

Tapi, demi melihat Bunda yang banting tulang mencari uang akhirnya Si Aku memutuskan untuk berjualan nasi bungkus. Tahun pertama di SMA Si Aku lalui tanpa rintangan dan hambatan berarti. Hingga tahun kedua, saat penjurusan, saat itulah Si Aku merasakan kegagalan sejati. Tropi kejuaran selama setahun terakhir harus rela Si Aku berikan karena tidak mampu mempertahankannya. Si Aku menjadi topik hangat di sekolah ‘Kejatuhan Si Anak Emas’. Sedih dan frustasi itu pasti. Tapi bangkit lebih memiliki urgensi.

Si Aku semakin gila belajar, mencoba meraih kembali apa yang hilang. Tapi sepertinya percuma. Dia hanya berhasil di posisi kedua. Dan Si Aku tahu pasti penyebabnya. Dia di jurusan yang salah. IPA. Si Aku bahkan tak pernah menyukai matematika, kimia apalagi fisika. Belajar hanya untuk menunaikan kewajiban semata.

Dan salah jurusan itu terus berlanjut bahkan hingga kuliah dan berstatus sebagai mahasiswa. Memang itu bukan pilihannya.  Dan bukan tugas mahasiswa pula untuk mengeluhkan keadaan.

Keadaan ekonomi keluarga tetap carut marut. Orangtua yang semakin tua. Membuat Kakak harus bertindak sebagai pencari nafkah utama. Membiayai kuliah Si Aku dan Adik. Si Aku tentu tak lepas tangan begitu saja. Mengirimkan lamaran melalui berbagai portal kerja. Mengajar les privat setiap hari. Mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa yang diadakan Kemenristekdikti. Kuliah-cari duit. Begitulah kehidupan mahasiswanya. Sama sekali tidak ada romansa. Siapa juga yang akan melirik Si Aku, gadis rantau dari desa? Cantik pun tidak. Cukup norak mungkin iya.

Si Aku tetap menjalani kehidupan monoton yang itu-itu saja. Dan tanpa terasa berhasil wisuda tepat pada waktunya dan meraih gelar sarjana.

Fase Imago.

Sarjana. Bukan dari Universitas ternama. Mencari kerja. Sulit. Itu kata-kata yang sering terpikirkan Si Aku. Perusahaan besar hanya memiliki minat pada lulusan dari kampus ternama, atau seseorang dengan banyak pengalaman kerja. Si Aku tidak termasuk dalam keduanya.

Menjadi pengangguran selama hampir setengah tahun. Melamar pekerjaan ke ratusan perusahaan baik besar maupun kecil. Lamar langsung. Lewat portal job. Walk-in interview. Tetap tak ada panggilan.

Menunggu, menunggu dan sabar menunggu. Itulah yang dilakukan Si Aku. Berharap metamorfosanya akan secantik kupu-kupu.

To Be Continued...



EmoticonEmoticon