Kamis, 13 Agustus 2020

AADC (Ada Apa Dengan Cabe)

Sumber : https://bit.ly/3iDjmaN
Setiap pagi saya belanja sayur, sudah pasti saya bertemu ibu-ibu yag menggosip. Tapi, kali ini gosip yang saya dengar bukan tentang kalangan selebriti. Dan usut punya usut, gosip ini memang terjadi alias fakta. Karena sudah terkonfirmasi kebenarannya. Siapa yang saya konfirmasi? Tentu saja para Ibu-Ibu sebagai narasumber kuat. 

Meski bukan selebriti, objek ini adalah primadona di kalangan ibu-ibu, atau mungkin semua kalangan masyarakat Indonesia? ya, siapalagi yang dibicarakan kalau bukan cabe?

Tapi, ini adalah cabe beneran, bukan cabe-cabean. 

Lalu, ada apa dengan cabe? Kenapa para ibu-ibu menggosipkan cabe? Apakah dia melakukan kesalahan seperti menerobos masuk jalur Transjakarta? Atau dia tersangka kasus Pulomas? Tentu saja jawabannya bukan kedua hal itu. 

Kenapa cabe ramai menjadi perbincangan di sosial tanpa media, adalah karena ketidakstabilan harganya. Harganya yang fluktuatif, membuat para ibu-ibu mengeluh. Para penjual makanan juga tidak mau kalah dan ikut mengeluh. Bagaimana tidak? Meroketnya harga Cabe sang primadona ini sudah mencapai titik kulminasi. 120 ribu per kilo??? Apa ada yag lebih cetar baday? Ternyata setelah saya kroscek di berita, ada. Sebuah berita dengan headline harga cabai tembus 200 ribu perkilo. 

Wah.Ternyata pertambahan tahun berbanding lurus dengan pertambahan harga cabe dan mungkin juga bahan makanan pokok lainnya. Mungkin bagi ibu rumah tangga, itu tidak terlalu menjadi masalah. Karena tidak makan cabe seminggu tidak akan membuat seluruh keluarganya mati kehabisan antioksidan. Tapi bagaimana dengan para penjual makanan? Bagi penjual makanan, cabe adalah komoditi utama. Saat mereka tidak menyediakan sambal, para pelanggan pasti akan protes keras, dan berdampak penurunan jumlah pelanggan. Yang jika berkelanjutan akan membuat kebangkrutan. 

Dan bagaimana dengan nasib pedagang rujak? Apakah ada orang yang membeli rujak tanpa meminta sambal super pedas? Apakah ada diantara pembaca yang pernah mendengar pembeli rujak berkata, “Bang rujaknya satu, jangan pake cabe,” itu mau beli rujak atau buah potong? Atau mungkin yang pembaca dengar adalah bisikan gaib. Karena 99,99% dari pembeli rujak niscaya akan berkata seperti ini, “ Bang, yang pedes yah, eh super pedes deh, cabenya 55!”. Oke, itu agak hiperbolis. Kenyataanya memang semua masyarakat Indonesia suka yang namanya pedas kok. Jadi masalah cabe ini tentu saja bukan masalah biasa. 

Yang menjadi pertanyaan saya -mewakili para ibu-ibu dan pedagang rujak serta pecinta pedas seluruh Indonesia- adalah bagaiman bisa hal itu terjadi? Kenapa si cabe jual mahal? Apakah cabe yang beredar dipasaran Indonesia ini adalah cabe made in Japan? Cabe made in China? Cabe made in Korea? Cabe made in USA? Apakah seperti itu? Apakah selama ini kita mengkonsusmi cabe yang kebule-bulean?

Lalu akhirnya saya mencari tahu lebih lanjut. Dan akhirnya saya menemukan jawaban Menteri Pertanian, yang saya dapat dari sebuah situs berita. Beliau menyatakan bahwa penyebab jual mahalnya cabe adalah faktor cuaca. Karena cuaca sekarang yang sering hujan, menyebabkan banyak tanaman cabai yang busuk. Bukankah cuaca memang dari dulu selalu begitu. Kalau tidak panas ya hujan. Tapi, kok para petani cabe tidak bisa belajar? Apakah ini mungkin? Realistiskah? Dan lagipula musim hujan itu tidak sepanjang musim kemarau. Perbandingannya mungkin 1:4. Apakah proses pemanenan cabe itu membutuhkan waktu sepanjang musim kemarau? Apa ini bukan permainan pasar? Karena jika dibayangkan hampir mustahil terjadi yang namanya ‘Kelangkaan cabe’. Cabe termasuk dalam kategori sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Apakah mungkin akan ‘langka’? Sementara alasan pedagang cabai saat ditanya kenapa harga cabe begitu mahal adalah karena cabe sedang susah. Loh, saya juga lagi susah tapi tidak digaji mahal?.

Kalau sudah menyebut pasar, mungkin pikiran akan langsung tertuju kepada Kementerian Perdagangan. Apa yang sudah dilakukan? Bagaimana solusi yang diberikan? Yang dilakukan para pejabat Kementerian Perdagangan adalah melakukan operasi pasar. Dengan tujuan menstabilkan harga. Tapi, sayang seribu sayang, tujuan itu masih jauh dari kata tercapai. Pedagang tentu saja tidak mempunyai keinginan menurunkan harga dengan senang hati, karena prinsip pedagang sesuai dengan kaidah ekonomi adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Jadi, jika para petugas operasi pasar hanya mensurvey, bertanya-tanya ke pedagang tentang harga, apakah itu akan menunjukkan dampak signifikan terhadapa penurunan harga? 

Jadi, bukankah lebih baik Kementerian Perdagangan itu fokus untuk membenahi sistem distribusi dan memberikan sanksi terhadap para pengepul? Karena kembali lagi, meningkatnya harga barang, termasuk sang cabe adalah karena meningkatnya permintaan sementara persedian terbatas. Bagaimana cabe bisa terbatas jika tidak ada kesalahan dalam sistem distribusi?

Tapi, untuk saat ini solusi yang ditawarkan oleh Kementerian Perdagangan adalah untuk menanam cabe dirumah masing-masing. Lalu, apakah para pedagang dan petani cabe yang akan gulung tikar saking melimpah ruahnya persediaan cabe? Atau Indonesia berencana melakukan ekspor cabe? 



EmoticonEmoticon