Kamis, 13 Agustus 2020

Carut Marut Pendidikan Indonesia

 

Sumber : https://bit.ly/3h7HAJS

    Kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Keberhasilan pendidikan di suatu Negara memang tidak hanya dipengaruhi oleh kurikulum. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kurikulum adalah salah satu aspek penentu jalannya pendidikan di suatu Negara. 

    Dan bagaimana dengan dunia pendidikan di Indonesia yang selalu bergonta-ganti kurikulum seriring dengan bergantinya Menteri? Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengubah kurikulum, dimulai dari Rentjana Pelajaran Terurai 1957, Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, kurikulum 1994, Kurikulum 2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 alias Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum 2013. Lalu, sampai kapan pergonta-gantian ini berakhir?

    Disini harusnya kita memperhatikan hal yang utama. Apakah objek dari pendidikan itu sendiri? Siswa. Siswa adalah objek yang diberikan treatment ata perlakuan disini. Dan pergantian kurikulum itu layaknya sebuah eksperimen, dimana sekolah sebagai laboratoriumnya, dan siswa sebagai objek dari eksperimennya. Buat generasi penerus bangsa kok, coba-coba?

    Mungkin, dahulu kala sebelum dikenal sosial media semacam facebook, instagram, dan semacamnya, pergantian kurikulum yang seperti pergantian musim itu tidak terlalu mejadi pusat perhatian. Tapi, sekarang dengan diwadahi sosial media dan dengan bekal pengetahuan yang sedikit lebih, masyarakat menjadi sensitif aktif. 

    Tentu saja masalaha kurikulum 2013 dulu masih belum terlupakan. Dimana saat kurikulum bari tersebut di sosialisasikan, banyak pro kontra yang mengiringinya. Banyak sekali orangtua yang protes dengan implementasi kurtilas, salah satu alasannya adalah karea dihapuskannya mata pelajaran bahasa Inggris. Lalu ada lagi keluhan orangtua siswa tentang bagaimana anaknya selalu merasa capek sepulang dari sekolah karena banyaknya tugas yang dibebankan. Tidak hanya orangtua siswa, bahkan segenap pelaksana pendidikan seperti gurupun ada yang menyatakan kontra akan kurtilas ini, tentu saja alasan utama adalah sistem penilaian yang semakin njelimet. Dan hal paling masuk akal adalah alasan siswa yang berada diluar jawa sana. Kurikulum 2013, menuntut siswa untuk aktif. Menjadikan semua hal sebagai sarana belajar. Dan tentu saja termasuk didalamnya adalah internet. Lalu bagaimana bisa menggunakan internet jika listrik saja masih sering terkendala? 

    Meski begitu, tidak sedikit pula yang mendukung program kurtilas.  Misalnya saja pakar sosio-linguistik dari UGM, Kunjani Rahardi yang memandang bahwa pengenalan bahasa asing yang terlalu dini berdampak buruk bagi anak. 

    Setali tiga uang dengan pendahulunya, kebijakan Pendidikan yang sekarang digaungkan oleh Menteri Pendidikan baru, mengenai jam belajar sehari penuh di sekolah menuai berbagai pro kontra. 

    Dukungan ini seperti diungkapkan  Denis, “ Saya dulu sekolah SMP-SMA dari jam 7 pagi sampai jam 2 atau 3 sore kok. No problem. Saya tidak jadi gila atau stress. Mungkin kalau sore lebih banyak ekskulnya saja, jadi anak tidak bosan dan bisa menyalurkan gelora fisiknya, SECARA POSITIF, misalnya ekskul olahraga. Kalo pulang sore-sore kan udah pasti capek dan ingin istirahat dirumah, semoga gak ada tawuran atau bolos nongkrong di mall dan lain-lain yang gak produktif”

    Tidak hanya Denis, Julia menyerukan hal yang serupa, ” saya gak tau dengan sekolah lain, tapi diseolah anak saya, sabtu libur, ekskul menggunakan jam pelajaran. Jika aturan ini akan berlaku disekolah anak saya,saya setuju setuju saja karena pulang sekolah dia biasanya hanya main dirumah. Saya gak ijinkan dia main diluar karena khawatir dengan tingginya kejahatan terhadap anak diluar sana. Jadi kalo full day school berarti dia bisa bermain dengan banyak teman disekolah. Yang terpenting disini, anak jangan lagi pulang membawa PR karena mereka sudah capek, masuk sekolahnya jangan terlalu pagi. Jam 8.00 adalah waktu yang ideal biar mereka bisa tidur lebih lama. Disekolah kan ada banyak pilihan ekskul, jadi mereka juga bisa mengembangkan bakatnya disekolah gak usah kursus-kursus lagi diluar. 

    Dan tentu saja yang menentang gagasan sang menteri juga tidak sekedar satu atau dua. Seperti yang dinyatakan oleh Udin, ”sing masalah nu guru sama Pak guru. Digaji piro pak? Terus sing rumat anak bojone sopo... nek full day di sekolah” dan Edy, “ Dikembalikan seperti tahun 90an saja Pak. Pendidikan moralnya didahulukan, percuma pandai-pandai tapi moralnya jeblok,”

    Mungkin bagi kalangan menengah keatas yang melek akan pendidikan dan berani membayar mahal hal tersebut tidak akan menjadi sebuah masalah. Dengan modal yang memadai mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta, ataupun sekolah di luar negeri sana. Karena selain mendapat sarana prasarana serta tenaga pendidik yang memadai, mereka tidak perlu risau dengan pergonta-gantian kurikulum.  

    Dan, kenapa kurikulum itu selalu dijadikan momok? Seakan kurikulum adalah brand dari seorang Menteri Pendidikan. Alih-alih melakukan pembenahan terhadap kurikulum, bagaimana dengan perbaikan sarana dan prasarana? Serta peningkatan kualitas tenaga pendidik? 

    Masih banyak diluar sana, yang untuk mengenyam pendidikan wajib 9 tahun saja harus bersusah payah naik turun gunung, melawan arus, meniti tebing. Tidakkah itu yang seharusnya dijadikan target utama perbaikan dari sebuah sistem pendidikan? 



EmoticonEmoticon