Kamis, 13 Agustus 2020

Haru Biru Hari Guru

Sumber : https://bit.ly/2PSpyzy


25 November. Hari ini adalah Hari Guru. Memang, tidak semeriah penyambutan Hari Kemerdekaan. Tapi, tentu saja bagi semua elemen pendidikan ini adalah hari yang bersejarah dan sangat dinantikan. Disekolah, terutama sekolah yang terbilang elite, hari guru dijadikan ajang yang sangat spesial. Dimulai dari pelaksanaan upacara dengan menyanyikan Hymne Guru, yang membuat para guru mungkin merasa terharu. Lalu para murid yang bekerja sama dengan orangtua murid, mengadakan acara makan bersama, disetiap kelas, dengan wali kelasnya. Jangan lupakan juga tradisi anak kekinian, dimana murid memberikan bunga pada sang Guru, sebagai bentuk bakti. 

Tapi, sayangnya tidak semua Guru di Indonesia merasakan kebahagiaan dan kemerdekaan. Lihat saja para guru honorer. Betapa banyaknya guru honorer yang melakukan aksi demo saat hari guru, setali tiga uang dengan para buruh yang berdemo saat hari buruh, melakukan berbagai macam aksi. Mereka menuntut hak. Wajar. Mereka sudah memenuhi kewajiban mereka untuk mendidik para generasi penerus bangsa. Guru adalah suri tauladan. Sepertinya itu tidak lagi sesuai jika melihat tuntutan. Ada uang ada barang. Saya mengajar saya harus dibayar. Saya menempuh jenjang pendidikan tinggi dengan biaya mahal, pantaskah saya digaji lebih rendah daripada tukang sapu di jalan? 

Mungkin, seharusnya di Indonesia diberlakukan sumpah keprofesian. Dimana semua profesi dituntut untuk bersumpah, melakukan pengabdian, dengan perjanjian detail mengenai pembayaran. Agar tidak terjadi yang namanya aksi demo-demo berkepanjangan. 

Dan kembali, membahas Hari Guru. Semakin hari, kampus perguruan semakin diminati. Kenapa? Alasannya sangat fundamental. Hal yang paling diperlukan dalam negara ini adalah pendidikan, siapa sih yang tidak membutuhkan pendidikan? Karena pendidikan sangat dibutuhkan, maka peluang sukses dibidang ini sangat menjanjikan. Sayang fakta berkata lain. Banyak kampus yang mencetak lulusan guru setiap tahunnya. Otomatis jumlah guru semakin bertambah. Tapi, saat jumlah yang masuk tidak sebanding dengan jumlah yang keluar maka terjadilah yang namanya penumpukan. Penumpukan guru honorer yang tak kunjung juga menjadi pegawai tetap. Tidak sedikit guru honorer yang merasa putus asa dan menyerah terhadap pengangkatan dan beralih ke profesi lain. Contohnya saja Wahyu Tristianto, salah satu guru honorer di SD Ngawi. Dia beralih profesi menjadi pelukis sandal karena ketidakjelasan mengenai pengangkatan guru honorer, serta gaji yang sangat jauh dari kata UMR, yakni sebesar 50.000/bulan. 

Setidaknya, tindakan Wahyu masih bisa diberikan apresiasi atas kemampuannya menciptakan lapangan usaha baru. Tapi, bagaimana dengan kasus guru honorer yang menyambi sebagai pengedar narkoba? Tentu saja ini sangat miris dan memprihatinkan. Bastomi, guru honorer asal desa Katerban, Kecamatan Baron, ditangkap Satuan Reskoba Polres Nganjuk karena kedapatan mengedarkan sabu seberat 4,5 gram. Ia nekat menjadi pengedar sabu karena gaji  dari guru honorer tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Apakah Hari Guru hanya sebatas peringatan tanpa makna? Apakah profesi Guru bukan lagi cita-cita mulia, karena mengharapkan tanda dan jasa?



EmoticonEmoticon